BUDAYA BELITUNG
Jumat, 26 April 2013
Adat
Belitung
Belitung
adalah kabupaten kepulauan yang dikelilingi hampir 200 pulau besar dan kecil.
Sejak akhir tahun 2000, kabupaten berpenduduk lebih dari 2 ratus ribu jiwa
ini menjadi bagian dari propinsi Bangka Belitung. Beragam etnis hidup
berdampingan di kawasan yang memiliki panorama indah ini.
Kesenian
rakyat Belitung umumnya berbau Melayu, dengan menggabungkan tradisi sebelum
dan sesudah masuknya Islam ke daerah ini.
Kentalnya
budaya Melayu amat terasa pada upacara pernikahan adat setempat. Hari itu,
keluarga Madani. Warga asli Belitung, akan mengawinkan puteri sulungnya Riani
dengan seorang pria pujaan hati.
Dalam adat
Belitung, tak harus seorang wanita yang dilamar, saat menjelang perkawinannya.
Bisa saja, prialah yang dilamar oleh calon pendamping hidupnya. Hal ini
menandakan masyarakat Belitung selalu luwes dalam memandang anggota
masyarakatnya. Tidak mesti pria yang dominan dibanding perempuan, ataupun
sebaliknya.
Semuanya
diselesaikan melalui kesepakatan kedua belah pihak. Pelaksanaan upacara
pernikahan adat Belitung biasanya membutuhkan waktu 3 hari 3 malam. Bahkan
bisa mencapai 7 hari 7 malam.
Hari
pertama, adalah saatnya mengetuk pintu. Pada hari pertama ini calon pengantin
pria tidak menyertakan kedua orang tuanya. Sang mempelai didampingi oleh
saudara ayah atau ibu.
Rombongan
mempelai pria tidak lantas begitu saja masuk ke dalam rumah. Ada 3 pintu yang
harus mereka lewati. Berebut lawang, demikian istilah yang dikenal di
Belitung. Di pintu pertama ini, sebaris pantun diujar rombongan tamu. Sebaris
pantun pula dibalas tuan rumah, diwakili tukang tanak, orang yang memasak
nasi. Tak habis sebaris, pantunpun berlanjut.
Intinya
adalah menyampaikan maksud kedatangan rombongan tamu yang didengarkan oleh
tukang tanak. Namun bukan berarti rintangan sudah usai. Masih ada 2 pintu
lagi yang harus dilalui rombongan mempelai pria.
Di pintu
kedua, kali ini mereka harus berhadapan dengan Pengulu Gawai, yang merupakan
pemimpin hajatan. Berbalas pantun kembali dijalin. Pengulu gawaipun
menanyakan maksud kedatangan rombongan tamu. Dua pintu telah dilalui, namun
belumlah cukup. Masih tersisa satu lagi.
Yang
terakhir, pintu ketiga dikawal Mak Inang, seorang juru rias pengantin. Mak
Inang menanyakan barang bawaan atau sire rombongan tamu yang hendak meminang.
Dengan sire berarti keluarga besar rombongan tamu mempunyai niat mengikat
tali persaudaraan. Lewat pintu ini, barulah lega rombongan tamu.
Hantaran
dan tipak yang dibawa rombongan tamupun beralih tangan. Seperangkat tempat
sirih lengkap, yang menyimpan 17 macam barang, menggambarkan jumlah rakaat
shalat dalam 1 hari, kini di tangan tuan rumah. Demikian pula dengan sejumlah
uang, yang berkelipatan lima. Angka lima melambangkan jumlah shalat wajib bagi
kaum muslim.
Sang
pengantin pria, akhirnya dipertemukan dengan pujaan hati, yang segera akan
dinikahinya. Akad nikahpun digelar.
Hari
kedua, saat bejamu, lebih menyiratkan rasa persaudaraan dua keluarga yang
telah dipersatukan ini. Di hari kedua, orang tua pengantin pria yang selama
ini diwakilkan barulah muncul, dipertemukan dengan pihak keluarga dan orang
tua pengantin wanita.
Peran Mak
Inang, begitu sangat terasa di hari kedua ini. Bahkan bisa dibilang sangat
mendominasi. Ia memandu serangkaian adat Belitung. Seperti saling tukar kue.
Memiliki makna, mertua harus ingat akan menantunya, demikian pula sebaliknya.
Namun demikian, pesta belumlah usai. Masih ada hari ketiga.
Pasangan
pengantin, dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Mandik besimbor istilahnya. Merekapun
menginjak telur. Cukup mengagetkan, saat pengantin ini berlari ke arah
pelaminan. Gurauan umum beredar siapa yang mencapai pelaminan terlebih dahulu
dialah yang mengatur roda kehidupan keluarganya kelak.
|
|
Sumber: SuaraMerdeka
|
http://asiaaudiovisualrb09ekalia.wordpress.com/seni-dan-budaya/budaya-belitung/
0 komentar: